OPINI: Kondisi Televisi Kita di Tengah Kepentingan Ekonomi Politik Industri Media

Oleh: Noerhadi WN

Sebelum bicara kondisi, saya hendak cerita sejenak kalau saya menulis ini atas dasar titah kawan sekaligus guru saya, Bung Erick Ardiyanto sebagai ahli Jean Baudrillard cum calon komunikator politik.
Ya, macam santri kepada kiainya, apa yang diperintahkan mesti bahkan wajib dilakukan.

Kalau kiai perintah kita nyebur ke sumur, nyeburlah santri. Itu prinsip santri, seperti dikisahkan Gus Dur beberapa tahun silam dalam tayangan Kick Andy. Beliau Gus Dur adalah santri sejati.

Oke, cukup. Saya sampaikan di awal, tulisan ini adalah hasil dari catatan saya sebagai mahasiswa ketika dosen menyampaikan materi terkait "Kapitalisme Media" pada mata kuliah Ekonomi Politik Media, yang saya gabungkan dengan hasil catatan ketika menonton video di channel YouTube Remotivi sebagai Pusat Kajian Media dan Komunikasi.

Keduanya saya gabungkan dan saya kembangkan.

Sementara itu, judul di atas saya kira sudah kita pahami bersama; seperti apa kondisi tayangan televisi kita yang akhirnya sering bikin muak dan mual.

Bagaimana tidak mual, hampir tiap jeda iklan, kita terus-menerus dicekoki Mars Perindo misalnya.

Atau di stasiun televisi swasta lain, kita disuguhi debat politik—bukan pendidikan politik—yang justru sering bikin kita emosi sendiri atas argumen, tingkah-polah para politisi dan simpatisan partai itu.

Atau ada juga tayangan-tayangan sinetron yang karena kejar tayang akhirnya si penulis cerita berbuat seenaknya, misal mematikan tokoh utama yang sedang naik haji. Padahal judulnya masih sama. Kenapa tidak buat sinetron dengan judul dan cerita baru lagi?

Ya, itu nanti dibawah coba saya sampaikan. Ini serius, banyak cerita sinetron kita yang boleh dibilang mengganggu logika kita dan dengan judul-judul yang ajaib; ada yang menggunakan nama-nama binatang semisal Ganteng-Ganteng Anoa di SCTV atau 7 Manusia Harimau di RCTI; ada Indosiar memilih tayangan kehidupan keluarga yang penuh dengan duka dan airmata dengan judul Suamiku Ternyata Ayahnya Anak-anakku. Ya iya lah. Judul itu sungguh menghina akal sehat kita.

Oya, kenapa tayangan dengan judul-judul yang wagu itu tetap saja digunakan dan dipertahankan. Karena tayangan itu sudah mengerek rating dan share yang baik, yang manis, yang akhirnya mendatangkan jumlah iklan yang banyak.

Selain program acara dengan judul dan cerita yang wagu, ada juga program 86 di NET TV yang baik memang; mengedukasi masyarakat agar taat peraturan atau hukum. Namun di sisi lain, para polisi dalam acara 86 berubah fungsi tidak lagi sebagai aparat hukum, terkadang jadi aparat moral. Misal, perempuan yang keluar malam di jalan, itu tidak melanggar hukum tapi harus berjumpa dengan si polisi dan harus diceramahi ini-itu. Di titik itulah kita melihat dwifungsi aparat. Hebat.

Kemudian acara Karma di ANTV yang bagi saya menggelikan, karena penuh dengan rekaan. Anehnya, justru tayangan itu banyak yang nonton. Bahkan sampai dibuatkan sinetronnya, Roy Kiyoshi Anak Indigo.

Satu lagi, ada pula program-program acara yang hanya menjajakan rasa iba kepada pemirsa; mengeksploitasi kemiskinan dan derita orang-orang pinggiran itu adalah hal yang wajar dan patut untuk dipertontonkan. Dan, harus diperlombakan; yang ceritanya lebih menderita bagi pemirsa dan penonton di studio, itulah yang menang. Mereka para peserta dipaksa menceritakan kisah sesedih-sesedihnya agar bisa juara dan melunasi hutang. Itu adalah program acara Mikrofon Pelunas Hutang di Indosiar yang rilis April 2017 hingga sekarang. Ya, sekilas itu membantu saudara-saudara kita yang miskin dan menderita karena dililit hutang. Terlebih lagi membantu ekonomi industri televisi Indosiar. Bagaimana tidak, berapa sih hutang yang dimiliki oleh mereka para peserta di program acara itu? Ya, mungkin tidak lebih dari 100 juta. Tapi, berapa yang didapat oleh Indosiar dari tayangan itu, dari iklan. Saya pernah dapat informasi, satu slot iklan itu 30 detik dengan rate card 200-400 juta. Itu hanya satu iklan. Silakan hitung sendiri, berapa jumlah iklan dalam tiap jeda, dikali durasi program acara selama 120 menit. Pastinya banyak.

Ya, sebetulnya masih banyak lagi program acara TV yang bisa kita permasalahkan. Namun, bukan berarti tidak ada program TV yang baik dan mendidik. Tapi jumlahnya tentu lebih sedikit, dan masih cenderung Jakarta Centris. Padahal acara TV itu disiarkan secara nasional, tidak hanya untuk warga Jakarta atau Jabodetabek saja, di daerah lain juga punya permasalahan yang penting untuk diliput atau diberitakan.

Ada memang kadangkala berita dari daerah, tapi lagi-lagi prosentasenya masih kecil. Masih kalah ketimbang berita seputar Jakarta. Misal berita pembukaan jalur baru Busway—secara bahasa ini sudah salah, bahwa Busway itu sudah jalur atau jalan bus. Berita itu tentu tidak terlalu relevan buat warga Palangkaraya atau warga Manokwari. Padahal, frekuensi yang digunakan industri TV untuk menghantarkan tayangan berita itu adalah milik publik. Itu tercantum dalam Undang-Undang, Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Lagi-lagi kita (publik) dirugikan. Setelah tayangan TV yang kurang baik, frekuensi milik publik pun digunakan oleh para elite media untuk kampanye politik. Karena, ya, para elite media kita juga berstatus sebagai elite (partai) politik. Lantas, apa lagi yang menarik dari media ketika kita terus-menerus disuguhi tayangan tak mendidik dan propaganda politik lewat media yang mereka miliki?

Di sini, kita tentu tidak ingin sekadar ngedumel dan hanya mengeluhkan apa yang terjadi dengan tayangan televisi kita. Kita coba bicara soal esensi dan alasan kenapa hal itu bisa terjadi. Kita tahu, bahwa media massa (termasuk di dalamnya televisi) memang perantara atau penyampai pesan secara luas kepada khalayak, dengan menggunakan teknologi komunikasi, baik elektronik maupun cetak, dan termutakhir digital.

Secara ideologi, kita bisa ambil perspektif Karl Marx yang menyatakan bahwa media massa memang alat produksi yang disesuaikan dengan industri kaum kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Selain itu, media juga tentu tidak lepas dari pemodal (kapital) untuk menunjang kerja media. Marx berasumsi, kontrol tertinggi atas media terkonsentrasi dalam monopoli modal. Jelas sudah, kapitalisme terbangun kokoh. Jadi, media memang punya ideologi dan ekonomi-politiknya sendiri.

Kapitalisme atau konglomerasi media memang sangat disayangkan, karena objektivitas media menjadi luntur tatkala pemilik media berpihak bahkan terjun langsung dalam jagat politik yang serba subjektif. Padahal, terkait Kepemilikan Media sudah diatur dalam Undang-undang. Tapi lagi-lagi regulasi itu tidak ditaati oleh para pemilik media. Contoh gamblang soal ketidakberimbangan berita bisa kita lihat ketika TV One dan Metro TV dalam pemberitaannya memiliki framing dan agenda setting yang kuat mencirikan ideologi media atau kecenderungan pilihan politik pada salah satu Capres 2014 dan kini menjelang Pilpres 2019. Semua pemirsa, saya haqul yakin, menyadari hal tersebut. Bahwa luntur bahkan hilang sudah cover both side atau keberimbangan dalam jurnalisme media kita.

Padahal kita tahu fakta media adalah menyajikan berita dengan berimbang, objektif, sesuai dengan kaidah jurnalistik. Lebih dari sekadar 5W+1H, seperti verifikasi. Itu yang hilang dari kerja media kita hari ini. Terlebih jamak kita saksikan pada media daring yang menuhankan kecepatan, keringkasan, dan jumlah klik dengan judul yang bombastis (click bait) padahal nihil esensi.

Ya, tayangan berita di TV berbenturan dengan ideologi atau politik media di Indonesia. Yang bisa dilakukan yaitu kita memang harus pintar dan selektif memilih tayangan, mungkin sembari menunggu Kemenkominfo dan KPI bisa lebih tegak lagi menghadapi para elite media yang juga jadi elite (partai) politik. Ya, regulasi dibuat untuk ditaati, bukan untuk dilanggar.

Selain itu, narasi-narasi kritis para pengguna media atau pemirsa juga perlu diperbanyak lagi. Semisal, ketika kita melihat tayangan yang tidak baik, itu bisa diadukan ke KPI untuk kemudian produser program acara terkait ditegur. Karena saya yakin, KPI juga tidak bisa bekerja sendiri, harus ada partisipasi dari masyarakat. Dan, P3-SPS yang diterbitkan KPI, boleh jadi tidak sepenuhnya dibaca, dipahami, dan dijalankan oleh pekerja media.

Terakhir, para pekerja media juga mesti sadar betul bahwa media itu sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang objektif untuk kebutuhan massa; bahwa kaidah jurnalistik adalah pedoman hidup bagi jurnalis. Kita mafhum, idealisme sang jurnalis dan independensi meja redaksi pada akhirnya harus berhadapan kepentingan elite. Nah, barangkali di sinilah fungsi dari serikat. Ya, jurnalis atau wartawan tentu paham kalau dirinya adalah buruh. Maka, ada serikat pekerja media. Meskipun ada ketimpangan: hanya ada puluhan serikat pekerja di antara ribuan perusahaan media. Wartawan harus berserikat agar tahu hak dan wewenangnya, agar punya daya tawar dengan industri media. Seperti ketika terjadi pemecatan sepihak ratusan wartawan MNC dan pesangon yang diberikan dibawah yang seharusnya, serikat pekerja media bisa ambil posisi dalam hal ini.

Dengan berserikat, pekerja media akhirnya lebih sadar bahwa dirinya perlu peningkatan skill dan jam kerja yang tidak mengganggu kehidupan personal. Poin penting, soal upah atau kelayakan hidup, itu harus jadi prioritas karena itu akan berpengaruh pada kualitas kerja media, yang akhirnya konsumsi publik pun jadi lebih baik.

Tabik!

Postingan populer dari blog ini

Working Class and Index Happiness

Puncak Pandemi Virus Korona Di Indonesia