Menuju Masyarakat Komunikatif (Etika Diskursus Politik) Tinjauan Teori Jurgen Habermas
Oleh: Erick Ardiyanto
Inikah yang kita harapkan dari itu semua?
Kalau kita tinjau menurut "Teori Etika Diskursus Jurgen Habermas",
Dalam memahami diskusrsus ruang public di era masyarakat abad 21 ini. Diskursus masyarakat Indonesia sendiri terbagi menjadi dua.
Di dalam masyarakat cyber, akhir-akhir ini diskursus politik kita terbelah menjadi dua kutub. Perdebatan ruang publik kita menjadi sangat banal cendrung tak terkendali. Antara dua golongan yang pro kita sebut saja (Interisti) maupun yang kontra (Milanisti) dalam konteks politik hari ini.
Polarisasi ini kian hari menyeret-nyeret kita dalam sebuah perdebatan politik yang tidak ada titik temu. Bukan saling menawarkan sebuah gagasan yang real dan basic. Justru yang terjadi adalah adu gagasan dengan klaim kebenaran dan data masing-masing. Anehnya keduanya kompak sama-sama saling mengklaim diri paling benar. Itu terjadi, kalau kita lihat bagaimana aktor-aktor politik dalam mengunakan sosial media hari ini.
"Saya adalah Media. Media adalah saya. Kebenaran yang saya konstruksi dan opini yang saya edarkan adalah kebenaran yang pasti diamini oleh Kubu saya/followers.
Tanpa telaah kritis lebih dalam.
Yang paling bana ketikakita beberapa kali menemukan potongan debat antara kedua kubu. Kita temukan di berbagai media sosial hari ini satu sama lain mengklaim diri menang debat. Udah pasti hal itu tentu juga diafirmasi oleh pendudukung masing-masing.
Dalam konteks masyarakat convensionalpun, Dalam debat politik hari ini yang disiarkan di media- media ditelevisi. Aktor-aktor politik yang ditampilkan masih itu-itu saja, kadang juga tidak bisa menawarkan sebuah diskursus yang mencerahkan. Diitambah lagi dengan ada beberapa tayangan debat dalam media televisi yang proporsi pembicara atau aktor-aktor politik yang mewakili dalam sebuah forum perdebatan politik. Kita lihat sendiri kadang justrul tidak imbang satu sama lainya. Bahkan mungkin tidak ahli dengan topic terkait.
Fenomena munculnya anak-anak muda yang terjun di dunia politik. Tak jarang juga menawarkan ide-ide-ide baru yang segar kita tidak memungkirinya. Tetapi tak jarang pula politisi muda yang ditampilkan dalam sebuah diskursus ruang public kadang cenderung dipaksakan. Dengan umur yang masih muda, dan minim pengalaman politik. Tapi seolah sudah seperti legenda milan FALDO MALDINI, dengan lagaknya yang sudah paling "Mr .Know Everything about" Milan politik.
Meminjam kata-kata Gus Wahyu guru spiritual saya, calon pakar kajian media. Fenomena ini memang tidak lepas karena memang ini kita menghadapi tahun politik. Ataukah di balik itu semua itu ada peran agenda setting media. Yang memberi ruang untuk mereka aktor-aktor politik dari zero to hero. ada yang diciptakan untuk menjadi menang dan ada yang sengaja/diposisikan untuk menjadi yang kalah.
Ataukah munkin ini hanya pseudo terhadap apa yang dinamanakan sebuah "tontanan" yang di balik itu semua ada hitung-hitungan "rating" yang akan berpengaruh terhadap penonton, yang akan berujung iklan yang membanjiri acara tersebut. lagi-lagi itu perlu telaah kritis.
Kalau kita tinjau menurut "Teori Etika Diskursus Jurgen Habermas",
"Sebuah diskursus memerlukan tindakan komunikatif yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan/Konsensus bersama. Ruang-ruang public harus bebas dengan berbagai macam diskursus. Apapun itu bentuk dari sebuah diskursus. Baik dari segi agama, ekonomi, sosial, pendidikan, politik, hukum bebas untuk muncul dalam ruang publik".
Namun syaratnya semua aktor-aktor politik mau berpikir terbuka. Harus bisa dan mau menerima keputusan bersama yang diangap itu paling benar dalam sebuah diskursus publik. Dengan mengkesampingkan ego politik masing-masing dan bahkan kepentingan Ideologi masing-masing. Keputusan bersama yang diambil tersebut tentu harus mempunyai bentuk problem solve yang dapat compatible dengan zamannya.
Namun sayangya bagaimana "Etika Diskursus" bisa dijalankan. Jika syarat untuk itu semua aja belum tercapai dan bahkan masih jauh. Ditambah kalau kita lihat yang terjadi hari ini, sebagian aktor-aktor politik dalam suatu perdebatan ruang pubik. Tidak mau memahami apa perkataan orang lain, walapun perkatan itu benar sekalipun.
Justru yang terjadi malah membatengi kepentingannya sendiri. Dan tidak mau mendengar kebenaran orang lain atau kebenaran diskursus. Itu permasalahanya.