Komodifikasi Media "Beauty Privilage dan Body Shaming"
Oleh: Erick Ardiyanto
Standar kecantikan ideal yang di konstruksi oleh media itu tidak lain adalah bentuk komodifikasi. Prinsip Komodifikasi diartiakan sebagai proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Komodifikasi sebagai kegiatan produksi dan distribusi komoditas yang lebih mempertimbangkan daya tarik, agar banyak dipuja oleh orang dibanding fungsinya.
Seperti wanita cantik itu dicitrakan kulit putih, body ideal itu bak layak top model dan rambut panjang lurus. Konstruksi ini adalah tidak lain akan menciptakan area pasar dalam komoditi, boleh dikatakan bahwa akhir dari komodifikasi ini hanyalah manfaat dari industri bisnis.
Dalam perjalananya secara tidak langsung standar itu pula yang menciptakan standar ideal kecantikan di mata masyarakat kita. Akibatnya banyak yang mati - matian ingin mengikuti standar kecantikan tersebut. Bahkan sampai rela menghabiskan banyak uang hanya untuk menuruti syahwat standar kecantikan yang di konstruksi media. Saya bicara dalam hal ini untuk tidak mengatakan bahwa anda sebagai perempuan “tidak boleh mengikuti standar yang ditetapkan media tersebut, silahkan karena itu pilihan bebas individu masing – masing. Tetapi di sini anda akan terus di gring menjadi masyarakat konsumtif.
Di barengi dengan fenomena itu, munculah juga beauty privilege di tengah masyarakat terhadap perempuan - perempuan yang dianggap ideal oleh media masyarakat. Di tambah degan adanya media social yang terus – terus membombardir kita tentang konten – konten kecantikan. Akibatnya kadang beberapa dari kita sering mengasosiasikan mereka dalam tataran kelompok high class dalam ruang social media. Sebaliknya tabiat ini jika di teruskan terus – menerus akan menjadikan kelompok wanita ini merasa high demand. (Selalu diinginkan).
Beauty Privilage ini bagi pisau bermata dua, kadang menjadi baik dan memudahkan wanita -wanita tersebut, contohnya dalam mencapai karir atau memperoleh pekerjaan. Misalnya posisi dalam perusahaan tertentu yang memang secara sengaja dalam perekrutan karyawanya membutuhkan wanita cantik ideal tadi. Contohnya : Model, SPG, Marketing, Humas. Bahkan di ruang media social perempuan influencer dengan beauty privilege dengan followers 1M lebih bias dengan mudah mendapat endorsement dengan berbagai perusahaan – perusahan pengiklan.
Tapi kita tidak bisa pungkiri bahwa disisi lain, kemudahan - kemudahan itu juga mengandung bencana. Karena saking mudahnya mendapat kemudahan – kemudahan dalam sesuatu pekerjaan. Sehingga kadang akan sangat sulit untuk melihat sesuatu proses dengan baik. Munculnya kemudian cara - cara instan dan berpikir - pikir instan.
Tapi akibat konstruksi media tentang standar kecantikan dan bombardir iklan – iklan kecantikan di media social. Dilain pihak tanpa kita sadari munculnya semacam perbandingan dari “Beauty Privilege” di masyarakat yaitu “Body Shaming” Sering kali misalnya kita melihat atau mendengar masyarakat mengomentari diri sendiri seperti kok gendut tidak seperti sie anu, kok aku kurus ya tidak seperti sie anu, kok tubuhku pendek tidak tinggi seperti sie anu danbahkan lebih parah lagi sampai kepada berkomentar terhadap fisik orang lain.
Yang mana ini juga sangat menggangu kesadaran public kita akhir – akhir ini terutama di ruang media social. Kebanyakan lupa akan arti peting menjadi diri sendiri dan percaya diri akan anugerah tubuh yang di miliki. Banyak wanita mengejar standar kecantikan tersebut dan berlomba - lomba untuk menjadi putih ideal standar media, berlomba - lomba diet untuk mencapai tubuh ideal standar media. Yang kadang mohon maaf ada slubung insecurity didalamya diri.
Dalam fenomena unggahan dari tara basro yang saya ikutin, saya menggira tara basro sedangingin melawan stereotype standar kecantikan berupa “Beauty Privilage” dan “Boddyshaming”yang sering terjadi di tengah masyarakat kita hari ini terutama di jagad social media. Saya tidakmelihat unggahan tara basro dalam media socialnya sebagai bentuk bingkai pornografi. Tapisaya, justrul melihat ini sebagai pesan yang kuat dari dalam diri tara basro dalam upaya untukmenjungkir balikan tatanan mapan selama ini. Dan dalam hal ini dia layak untuk dibela...
Daftar Pustaka :
Standar kecantikan ideal yang di konstruksi oleh media itu tidak lain adalah bentuk komodifikasi. Prinsip Komodifikasi diartiakan sebagai proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Komodifikasi sebagai kegiatan produksi dan distribusi komoditas yang lebih mempertimbangkan daya tarik, agar banyak dipuja oleh orang dibanding fungsinya.
Seperti wanita cantik itu dicitrakan kulit putih, body ideal itu bak layak top model dan rambut panjang lurus. Konstruksi ini adalah tidak lain akan menciptakan area pasar dalam komoditi, boleh dikatakan bahwa akhir dari komodifikasi ini hanyalah manfaat dari industri bisnis.
Dalam perjalananya secara tidak langsung standar itu pula yang menciptakan standar ideal kecantikan di mata masyarakat kita. Akibatnya banyak yang mati - matian ingin mengikuti standar kecantikan tersebut. Bahkan sampai rela menghabiskan banyak uang hanya untuk menuruti syahwat standar kecantikan yang di konstruksi media. Saya bicara dalam hal ini untuk tidak mengatakan bahwa anda sebagai perempuan “tidak boleh mengikuti standar yang ditetapkan media tersebut, silahkan karena itu pilihan bebas individu masing – masing. Tetapi di sini anda akan terus di gring menjadi masyarakat konsumtif.
Di barengi dengan fenomena itu, munculah juga beauty privilege di tengah masyarakat terhadap perempuan - perempuan yang dianggap ideal oleh media masyarakat. Di tambah degan adanya media social yang terus – terus membombardir kita tentang konten – konten kecantikan. Akibatnya kadang beberapa dari kita sering mengasosiasikan mereka dalam tataran kelompok high class dalam ruang social media. Sebaliknya tabiat ini jika di teruskan terus – menerus akan menjadikan kelompok wanita ini merasa high demand. (Selalu diinginkan).
Beauty Privilage ini bagi pisau bermata dua, kadang menjadi baik dan memudahkan wanita -wanita tersebut, contohnya dalam mencapai karir atau memperoleh pekerjaan. Misalnya posisi dalam perusahaan tertentu yang memang secara sengaja dalam perekrutan karyawanya membutuhkan wanita cantik ideal tadi. Contohnya : Model, SPG, Marketing, Humas. Bahkan di ruang media social perempuan influencer dengan beauty privilege dengan followers 1M lebih bias dengan mudah mendapat endorsement dengan berbagai perusahaan – perusahan pengiklan.
Tapi kita tidak bisa pungkiri bahwa disisi lain, kemudahan - kemudahan itu juga mengandung bencana. Karena saking mudahnya mendapat kemudahan – kemudahan dalam sesuatu pekerjaan. Sehingga kadang akan sangat sulit untuk melihat sesuatu proses dengan baik. Munculnya kemudian cara - cara instan dan berpikir - pikir instan.
Tapi akibat konstruksi media tentang standar kecantikan dan bombardir iklan – iklan kecantikan di media social. Dilain pihak tanpa kita sadari munculnya semacam perbandingan dari “Beauty Privilege” di masyarakat yaitu “Body Shaming” Sering kali misalnya kita melihat atau mendengar masyarakat mengomentari diri sendiri seperti kok gendut tidak seperti sie anu, kok aku kurus ya tidak seperti sie anu, kok tubuhku pendek tidak tinggi seperti sie anu danbahkan lebih parah lagi sampai kepada berkomentar terhadap fisik orang lain.
Yang mana ini juga sangat menggangu kesadaran public kita akhir – akhir ini terutama di ruang media social. Kebanyakan lupa akan arti peting menjadi diri sendiri dan percaya diri akan anugerah tubuh yang di miliki. Banyak wanita mengejar standar kecantikan tersebut dan berlomba - lomba untuk menjadi putih ideal standar media, berlomba - lomba diet untuk mencapai tubuh ideal standar media. Yang kadang mohon maaf ada slubung insecurity didalamya diri.
Dalam fenomena unggahan dari tara basro yang saya ikutin, saya menggira tara basro sedangingin melawan stereotype standar kecantikan berupa “Beauty Privilage” dan “Boddyshaming”yang sering terjadi di tengah masyarakat kita hari ini terutama di jagad social media. Saya tidakmelihat unggahan tara basro dalam media socialnya sebagai bentuk bingkai pornografi. Tapisaya, justrul melihat ini sebagai pesan yang kuat dari dalam diri tara basro dalam upaya untukmenjungkir balikan tatanan mapan selama ini. Dan dalam hal ini dia layak untuk dibela...
Daftar Pustaka :
- Vincent Mosco, Political Economy of Communication, (London: Sage Publication, 1996)
Komentar